Rabu, 26 Maret 2008

KEPASRAHAN

Wahai Allah mengapa setiap kali aku berusaha untuk berubah dan bertobat sepenuhnya padaMu, selalu saja godaan dan halangan itu juga beriringan datangnya. Aku ingin menatapMu, memujaMu, dan mencintai-Mu dengan seluruh jiwa dan ragaKu.
Telah panjang dan jauh perjalanan yang aku tempuh..kakiku lelah..ragaku rapuh…jiwaku kosong dan hampa… kapan aku menemukan kembali kehikmatan dan kenikmatan dalam memujaMu… kedamaian yang pernah aku rasakan ketika dalam keheningan subuh aku tersungkur di hadapanMu… getaran hati yang tak pernah aku rasakan sebelumnya…
Mengapa aku semakin jauh….janganlah engkau menjauhiku… aku ingin selalu dekat denganMu…apalah arti diri hina ini tanpa ridho dan hidayah dariMu…ya Allah… yang maha pengasih – penyayang, yang maha kuasa atas segalanya…

Dramaga, 3/24/2008 1:09:40 AM

Selasa, 15 Januari 2008

PENYAKIT DAN PENGENDALIANNYA PADA IKAN MAS DAN IKAN NILA




Abstrak
Ikan mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan 2 jenis ikan air tawar yang menjadi primadona kegiatan budidaya ikan air tawar di Sulawesi Utara. Teknik pembudidayaannya relatif mudah, tapi sering para petani ikan diperhadapkan pada masalah kematian ikan yang disebabkan oleh penyakit. Sementara pengetahuan mereka dalam hal diagnosa (pengenalan), penanggulangan/pengendalian penyakit tersebut masih sangat terbatas. Menurut definisinya penyakit diartikan sebagai suatu proses atau kondisi yang abnormal dari tubuh atau bagian-bagian tubuh ikan yang mempunyai suatu karakteristik yang membedakannya dengan keadaan normal (Manoppo, 1995). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan ini dapat disebabkan oleh organisme lain (pengganggu), pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang mendukung kehidupan ikan. Terdapat banyak faktor yang menentukan seekor ikan menjadi sakit. Faktor utamanya adalah Host (organisme peliharaan/inang), Pathogen (microba, parasit) dan Environment (lingkungan menyangkut fisik, kimia atau tingkah laku seperti stress). Penyakit non parasiter yaitu penyakit yang disebabkan bukan oleh hama maupun organisme parasit. Penyakit ini dapat dikelompokkan berdasarkan faktor penyebabnya yaitu lingkungan (dalam hal ini air sebagai media hidup, parameter-parametenya yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, senyawa beracun, kekeruhan/kecerahan air, salinitas) dan pakan. Penyakit-penyakit parasiter yang menyerang ikan mas dan nila umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing.

Kata Kunci : penyakit, ikan mas, ikan nila, inang, parasit, lingkungan


PENDAHULUAN

Propinsi Sulawesi Utara dalam hal budidaya air tawar memiliki spesifikasi tersendiri khususnya dalam hal kesukaan terdahap ikan yang menjadi obyek budidaya. Ikan mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan 2 jenis ikan air tawar yang menjadi primadona kegiatan budidaya ikan air tawar di Sulawesi Utara. Sebab umumnya dari segi kesukaan/selera, masyarakat Sulut banyak mengkonsumsi kedua jenis ikan ini, secara sederhana hal ini dapat kita lihat dengan bertebarannya rumah-rumah makan yang selalu menyediakan kedua jenis ikan ini sebagai menu utamanya.
Disamping kesukaan/selera, juga didukung oleh sumberdaya alam yaitu perairan tawar (danau, sungai, kolam) yang potensial juga teknik budidayanya yang sederhana, sehingga mudah dilakukan oleh petani ikan khususnya dan masyarakat awam pada umumnya.
Namun walaupun pembudidayaannya relatif mudah, sering para petani ikan diperhadapkan pada masalah kematian ikan yang disebabkan oleh penyakit. Sementara pengetahuan mereka dalam hal diagnosa (pengenalan), penanggulangan/pengendalian penyakit tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu sangatlah perlu dilakukan berbagai pelatihan atau sekolah lapang guna meningkatkan pengetahuan petani ikan tentang penyakit-penyakit ikan ini.
Menurut definisinya penyakit diartikan sebagai suatu proses atau kondisi yang abnormal dari tubuh atau bagian-bagian tubuh ikan yang mempunyai suatu karakteristik yang membedakannya dengan keadaan normal (Manoppo, 1995). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan ini dapat disebabkan oleh organisme lain (pengganggu), pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang mendukung kehidupan ikan.
Dalam usaha budidaya yang intensif, kita mencoba memelihara ikan dalam kondisi yang terkontrol (padat tebar tinggi, pakan tambahan, aerasi dan lain-lain). Semuanya ini mengakibatkan perubahan baik terhadap biologi, nutrisi atau bentuk-bentuk polutan. Dalam banyak hal, kegiatan budidaya telah mengakibatkan banyak kerugian dimana penyakit telah membunuh sebagian besar atau bahkan seluruh stok ikan yang dipelihara. Lebih umum lagi, keberadaan penyakit telah membuat usaha budidaya tidak ekonomis. Kita sebenarnya dapat memelihara dan memproduksi ikan yang sehat baik pada hatchery maupun pada usaha pembesaran. Ini bisa dicapai apabila kita mengerti kompleks interaksi dari faktor-faktor yang menyebabkan suatu penyakit dan menerapkan pengetahuan ini dalam usaha budidaya yang intensive. Banyak orang percaya bahwa apabila suatu biological atau chemical agent berada dalam atau pada organisme peliharaan, maka organisme tersebut akan menderita sakit. Hal ini memang benar adanya. Terdapat banyak faktor yang menentukan seekor ikan menjadi sakit. Faktor utamanya adalah Host (organisme peliharaan/inang), Pathogen (microba, parasit) dan Environment (lingkungan menyangkut fisik, kimia atau tingkah laku seperti stress). Penyakit merupakan ekspresi dari kompleks interaksi antara host-pathogen-environment. Dalam banyak situasi pembudidayaan, environment maupun host mungkinmerupakan faktor yang paling abnormal.
Hal di atas digambarkan oleh Snieszko dalam Zonneveld (1994) melalui 3 lingkaran yang saling overlapping untuk memperlihatkan interaksi antara host, potential pathogen dan environment (lingkungan).

Snieszko Ring



PENYAKIT NON PARASITER

Penyakit non parasiter yaitu penyakit yang disebabkan bukan oleh hama maupun organisme parasit. Penyakit ini dapat dikelompokkan berdasarkan faktor penyebabnya yaitu lingkungan (dalam hal ini air sebagai media hidup) dan pakan.
a. Lingkungan/Kualitas Air
Perlu diingat bahwa kualitas air memegang peranan penting dalam kegiatan budidaya khususnya dan perikanan pada umumnya . Pada peranan alami kualitas air mempengaruhi seluruh komunitas perairan (bakteri, tanaman, ikan, zooplankton dsb) (Zonneveld,dkk.,1994). Beberapa kondisi lingkungan yang menyebabkan kematian ikan adalah:
- Perubahan suhu air secara mendadak
- pH air yang terlalu rendah atau sangat tinggi
- Kurangnya oksigen terlarut dalam air.
- Meningkatnya senyawa-senyawa beracun seperti H2S (gas metan), karbondioksida, ammoniak, adanya polusi pestisida, limbah industri dan rumah tangga.
- Kekeruhan air meningkat/ kecerahan air menurun (Djarijah, 1995).

Adapun kriteria dasar mengenai kualitas air untuk ikan mas dan ikan nila adalah sebagai berikut:


Sumber : Zonneveld, dkk.(1994); Djarijah (1995); Suyanto (1994); Shokita (1991).

Untuk suhu, pH dan salinitas bagi ikan nila yang dipelihara dalam tambak berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Z.Mantau diperoleh kisaran suhu 25 - 27oC, pH 7.8 - 8.4 dan salinitas 17 ppt - 40 ppt, ketiga parameter ini diukur setiap pagi, siang dan malam hari selama 3 bulan pemeliharaan (Mantau, 1997). Dimana hal ini tidak jauh berbeda atau masih sesuai dengan beberapa teori yang dikemukakan misalnya Shokita (1991) menyatakan bahwa suhu optimal untuk sintasan ikan nila adalah 27-32oC, salinitas untuk ikan nila mulai dari 0 ppt - 35 ppt (Suyanto, 1994), sedangkan pH optimal untuk sintasan ikan nila antara 7.5 - 8.5 (Poernomo, 1989). Dan jika pun diperoleh nilai yang melebihi dari teori tersebut, maka hal itu merupakan spesifikasi dari lokasi penelitian.
Deplesi/kekurangan oksigen merupakan salah satu faktor lingkungan yang sering menyebabkan kematian ikan terutama di kolam yang banyak mengandung bahan organik. Secara tidak langsung kekurangan oksigen menyebabkan ikan stress sehingga daya tahan tubuh menurun yang berakibat ikan tersebut mudah diserang organisme pathogen. Faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi oksigen dalam kolam adalah fotosintesis, respirasi dan difusi oksigen dari udara ke dalam air. Suhu juga memegang peranan penting dalam ketersediaan oksigen dalam air. Dimana peningkatan suhu air akan menurunkan kemampuan air untuk mengikat oksigen (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Variasi suhu air lebih kecil dan lebih lambat terjadinya bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Hal ini menyebabkan organisme akuatik seringkali kurang dapat mentoleransi perubahan-perubahan suhu (Stenothermal). Akibatnya pencemaran termal yang ringanpun akan dapat berakibat luas.
Pertumbuhan embrio ikan mas pada suhu 30oC mengalami penurunan setengah kali dibanding pada suhu 20oC (Tamanampo, 1994). Selanjutnya dikemukakan bahwa nafsu makan ikan mas nyata menurun apabila suhu air meningkat. Dari pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ikan mas yang dipijahkan di kolam secara alami, baru memijah setelah suhu airnya berkisar 20 - 22oC (Wardoyo dalamTamanampo, 1994). EIFAC dalam Tamanampo (1994) mengemukakan bahwa ikan mas yang dipelihara pada suhu 24 - 26oC akan segera mati bila dipindahkan ke dalam perairan bersuhu 38,2oC secara tiba-tiba tanpa aklimatisasi. Dan kalaupun dapat hidup setelah diaklimatisasi, ikan tersebut akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya dan daya makannya. Selanjutnya Klein dalam Tamanampo (1994) menyatakan bahwa daya racun Potasium Sianida terhadap ikan air tawar adalah dua kali lipat apabila suhu airnya meningkat 10oC.


PENYAKIT PARASITER

Penyakit-penyakit parasiter yang menyerang ikan mas dan nila umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing.
a. Virus Penyebab Penyakit
Ephithelioma papulasum merupakan virus yang sering menyerang ikan mas (C. carpio), ikan mas koki (Carassius auratus) dan beberapa jenis ikan hias air tawar. Serangan virus ini mengakibatkan penyakit cacar, dimana pada tubuh ikan timbul bercak-bercak putih seperti susu yang perlahan-lahan membentuk lapisan lebar mirip kaca atau lemak dengan ketebalan antara 1 - 2 mm (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Aktivitas serangan virus bersifat akut (mematikan), menghasilkan kerusakan jaringan cukup luas dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Infeksi virus sering dilanjutkan dengan infeksi sekunder oleh bakteri ataupun didahului oleh infeksi sekunder oleh organisme parasit misalnya Argulus (kutu ikan), Lernea dan lain-lain.
Adapun pengobatan yang dapat dilakukan untuk serangan virus ini dengan menggunakan Arsenik yang dilarutkan dalam Senyawa Arycil. Cara pengobatannya dengan menyuntik pada bagian perut ikan. Penyuntikan I menggunakan 1 ml larutan Arsenik 1% dan diikuti 3 kali penyuntikan dengan larutan Arsenik 5 %.
b. Bakteri Penyebab Penyakit
Berdasarkan reaksi sel bakteri terhadap pewarnaan warna gram, maka bakteri dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu bakteri gram positif (terlihat berwarna biru) dan bakteri gram negatif (berwarna pink atau merah). Kebanyakan bakteri pathogen ikan termasuk golongan gram negatif, seperti Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Flexibacter sp. dan Vibrio sp. Diman bakteri-bakteri ini hampir selalu ditemukan dan hidup di air kolam, di permukaan tubuh ikan dan pada organ-organ tubuh bagian dalam ikan. Pencegahan infeksi bakteri ini terletak pada pengelolaan kualitas air yang baik sehingga ikan terhindar dari stress.
Umumnya ikan mas dan ikan nila sering terserang bakteri Aeromonas hydrophilla, A.salmonicida, dan Pseudomonas flourescens. Adapun penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas disebut Motil Aeromonas Septicemia (MAS) atau sering juga disebut Hemorrhage Septicemia. Penularannya melalui air, kontak badan, peralatan yang tercemari bakteri ini. Ikan-ikan yang terserang bakteri ini memperlihatkan gejala-gejala:
- Warna tubuh menjadi agak gelap
- Kulit kasat dan timbul pendarahan yang akan menjadi borok (hemorrhage)
- Kemampuan renang menurun dan sering megap-megap di permukaan air karena insangnya rusak sehingga sulit bernafas.
-
- Sering terjadi pendarahan pada organ bagian dalam seperti hati, ginjal, limpa seringpula terlihat perut agak kembung/bengkak
- Jika telah parah keseluruhan sirip rusak dan insangnya berwarna keputih-putihan
- Mata rusak dan agak menonjol (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Pengendaliannya menggunakan antibiotik melalui penyuntikan, perendaman atau dicampur dalam pakan. Antibiotik Chloramphenicol, Oxytetracyclin dan Streptomycin dapat digunakan untuk memberantas bakteri ini. Dengan melarutkan sebuah kapsul antibiotik (250 mg) ke dalam 0.5 m3 air tawar, ikan yang terserang kemudian direndam selama 2 jam. Pengobatan ini dapat diulang sebanyak 2 - 5 kali sampai ikan sembuh.
Selain penggunaan antibiotik-antibiotik dalam penanggulangan penyakit khususnya yang disebabkan oleh Aeromonas, dewasa ini telah banyak dikembangkan penggunaan imunostimulan untuk merangsang produksi antibodi ikan secara alami melalui perangsangan pada sel-sel fagosit ikan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Rukyani, dkk. dari PUSLITBANGKAN yang menggunakan imunostimulan b-Glucan dengan ikan uji ikan lele yang telah diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophilla. b-Glucan merupakan salah satu imunostimulan yang terbuat dari dinding sel cendawan Saccharomyces cerevisiae yang telah terbukti mampu merangsang dan mengaktifkan pertahanan non-spesifik pada berbagai organisme tingkat tinggi. Imunostimulan ini mampu memperbesar kerja sel-sel fagosit yang merupakan sel-sel penghasil antibodi non-spesifik. Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa dengan penambahan 750 mg b-Glucan dalam 1 kg pakan mampu meningkatkan produksi leukosit dan antibodi ikan sehingga sintasan meningkat sampai 83.33 %, padahal biasanya akibat serangan virus ini sintasan ikan yang terinfeksi kurang dari 25% (Rukyani, dkk.,1997).
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh R.Mangindaan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat yang meneliti tentang Peranan b-Glucan terhadap Peningkatan Aktivitas Sel-Sel Fagosit pada Ikan Mas, menemukan terjadinya aktivitas fagositosis terhadap bakteri Aeromonas hydrophilla sebanyak 1.6 - 2.2 kali setelah penginjeksian glucan lentinan, schizophyllan dan scleroglucan. Ini berarti terjadi aktivitas secara alamiah (perlawanan/pengaktifan) terhadap gangguan organisme pathogen oleh sel-sel fagosit ikan mas (Mangindaan, 1993).
Dapat diprediksikan bahwa penggunaan b-Glucan ini dapat pula diaplikasikan pada ikan yang terserang Pseudomonas flourescens sebab bakteri jenis ini pun dapat menyebabkan penyakit Hemorrhage Septicemia. Dimana aktivitas bakteri ini dapat menyebabkan anemia dan kematian masal pada ikan.
c. Jamur Penyebab Penyakit
Jamur adalah mikroorganisme yang sering terlihat seperti benang yang tumbuh di bagian dalam atau luar tubuh ikan. Ada beberapa organisme jamur yang sering menimbulkan penyakit pada ikan mas dan nila, yaitu Saprolegnea sp. yang menyebabkan penyakit Saprolegniasis, Achlya sp., Branchiomyces sp. Tapi yang paling akut dan ditakuti adalah Saprolegnea sp. dan Branchiomyces sp, sebab Saprolegnea sp. selain menyerang organisme dewasa juga menyerang telur-telur ikan. Sedangkan Branchiomyces sp. dapat menyebabkan kematian masal pada ikan budidaya.
Jamur Saprolegnea sp. menyerang ikan disebabkan adanya infeksi sekunder oleh organisme lain misalnya bakteri atau copepoda. Selain adanya luka juga juga dikarenakan suhu air menurun sehingga ikan stress. Pada ikan yang terinfeksi akan terlihat adanya sekumpulan hypa (benang-benang halus menyerupai kapas). Biasanya hypa ditemukan di bagian kepala, tutup insang dan sekitar sirip. Ikan-ikan ini biasanya menjadi kurus karena daya makan menurun dan sering menggosok-gosokan tubuhnya pada benda-benda lain.
Pengendalian jamur ini dapat dilakukan dengan merendam ikan terinfeksi ke dalam larutan Malachite Green atau Methylene Blue 1 ppm selama 1 jam. Atau untuk pencegahan dengan merendam telur-telur ikan ke dalam larutan malachite green 1 : 15000 selama 30 detik. Atau menggunakan antiseptik Betadine sebanyak 1% dengan merendam telur-telur tersebut selama 10 menit.
Branchiomyces sp. merupakan jamur yang sangat berbahaya bagi ikan, terdiri dari 2 spesies yaitu B. sanguinis terdapat di saluran darah insang dan B. demigrans ditemukan di luar saluran darah dan sering menyebabkan nekrosis di sekitar jaringan. Penyakit yang ditimbulkannya disebut Branchiomycosis atau busuk ikan yang sering diikuti kematian masal. Pengendalian penyakit ini belum banyak diketahui. Hanya saja untuk pencegahan sebaiknya menjaga kebersihan kolam atau penebaran kapur sebanyak 150 - 200 kg/ha.
d. Protozoa Penyebab Penyakit
Protozoa yang sering menyerang ikan masa adalah Icthyopthirius multifilis, Myxobulus sp., Tricodina sp. Sedang pada ikan nila umumnya I.multifilis, Tricodina sp, Tricodinella sp. dan Epistylis sp. (Afrianto dan Liviawaty, 1992; Djarijah, 1995).
Akibat serangan I. multifilis pada tubuh ikan banyak dijumpai bintik-bintik putih sehingga penyakit ini disebut White spot. Serangan protozoa ini umumnya terjadi pada musim hujan dengan suhu berkisar 20 - 24oC. Ikan yang terserang akan kehilangan fungsi insang sehingga mengganggu respirasi. Selain itu ikan menjadi malas berenang dan cenderung mengapung di permukaan air.
Pencegahan terhadap penyakit ini adalah dengan melakukan sirkulasi/penggantian air secara teratur serta pemberian pakan yang cukup dan bergizi. Pengobatannya ada beberapa cara yaitu:
- Merendam ikan terinfeksi ke dalam larutan garam dapur berkadar 0.1 - 0.3 ppm selama 5 - 10 menit.
- Menggunakan Methylene blue. Larutkan 2 - 4 cc larutan methylene blue ke dalam 4 liter air dan rendamlah ikan selama 24 jam. Kemudian dapat diulang sampai 5 kali dengan tiap kali perendaman menggunakan larutan methylene blue yang baru.
- Perendaman dalam larutan malachite green 0.15 ppm selama 3 hari berturut-turut.
- Perendaman dalam larutan formalin 200 - 250 ppm atau sebanyak 15 ppm yang ditebar di kolam (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Protozoa selanjutnya yang menyerang ikan mas dan nila adalah Tricodina sp. Protozoa ini berbentuk genta, bagian depan berbentuk lingkaran dikelilingi cillia berukuran 120 m. Penyakitnya disebut Trichodiniasis (Afrianto dan Liviawati 1992; Djarijah, 1995). Ikan yang terserang penyakit ini nampak berbintik-bintik putih terutama di kepala dan punggung. Nafsu makan hilang, produksi lendir bertambah banyak, pada tubuh bagian luar sering dijumpai pendarahan. Pencegahannya dengan melakukan pengelolaan air secara baik dan pemberian pakan yang cukup. Pengobatannya dengan merendam ikan yang terserang ke dalam larutan garam 30 ppm, larutan formalin 15 ppm.
Myxobulus sp. merupakan protozoa yang banyak menyerang ikan mas. Penyakitnya disebut Myxosporeasis. Ciri-ciri ikan yang terserang adalah timbulnya bintil berwarna kemerah-merahan. Bintil ini merupakan kumpulan dari ribuan spora. Penyakit ini sangat berbahaya sebab dapat membawa kematian sampai 80% (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Pengobatannya belum banyak duiketahui. Pencegahannya dengan pengapuran sebanyak 25 kg/ha. Sedang ikan yang terserang sebaiknya dimusnahkan dengan cara mengubur atau membakarnya.
Tricodinella sp. yang menyerang ikan nila berbentuk seperti susunan gerigi berukuran 15 m. Pada tubuh ikan yang terinfeksi, protozoa ini terlihat berwarna putih atau abu-abu. Pada infeksi berat, ikan terlihat megap=megap di permukaan air. Faktor kualitas air sangat menentukan frekuensi serangan protozoa ini. Pengendalian terhadap penyakit ini adalah dengan pemberian pakan yang cukup baik jumlah dan gizinya. Protozoa lainnya yang menyerang ikan nila adalaj Epistylis (Djarijah, 1995). Protozoa ini memiliki tangkai dan mulut dilengkapi cillia yang berfungsi untuk menarik partikel makanan ke dalam mulutnya. Gejala-gejala ikan yang terserang adalah luka berdarah/pendarahan pada permukaan tubuh. Produksi lendir berlebihan di bagian-bagian tubuh tertentu. Pengendaliannya dengan melakukan sirkulasi dan penggantian air secara teratur dan pengeringan serta pengapuran kolam.


e. Cacing Penyebab Penyakit
Ada dua jenis cacing Klass Trematoda yang kerap kali menyerang ikan mas dan ikan nila serta ikan-ikan air tawar pada umumnya, yaitu Gyrodactylus sp. dan Dactylogyrus sp.
Gyrodactylus sp. biasanya menyerang ikan pada bagian kulit dan sirip sedang Dactylogyrus sp. lebih suka menyerang insang. Cacing-cacing parasit ini akan menyerang ikan pada tingkat pemeliharaan yang cukup padat. Ciri-ciri yang ditimbulkan akibat serangan parasit ini adalah:
- Ikan megap-megap di permukaan air
- Infeksi yang cukp parah dan diikuti oleh infeksi bakteri yang dapat menyebabkan bakterial sistemik yang hebat pada bagian tubuh yang terinfeksi.
Pengobatannya dengan jalan perendam,an ikan pada larutan ammonium 1 ppm selama 5 - 15 menit dan larutan methylene blue (1 gram/cm3 air). Selain itu dapat pula direndam dalam larutan PK 4 - 5 mg/liter.

PENUTUP

Setelah kita menyimak/menelaah/mempelajari berbagai hal tentang penyakit dan pengendaliannya khususnya pada ikan mas dan ikan nila, maka dapatlah disimpulkan secara umum bahwa penyakit ikan dengan segala aspek yang menyebabkannya haruslah benar-benar diketahui secara mendalam, terutama sekali keahlian kita sebagai peneliti, penyuluh dan petani sebagai pengguna untuk dapat dengan cepat dan tepat mendiagnosa ikan yang sakit dan keahlian kita untuk mengelola perairan (sungai, danau, perkolaman) sebagai media budidaya agar terjaga kualitasnya untuk kelangsungan hidup ikan dan terutama manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., E. Liviawaty, 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Djarijah, S.A., 1995. Nila Merah. Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Mangindaan, R., 1993. Peranan b 1,3-Glucan Terhadap Peningkatan Aktivitas Sel-Sel Fagosit pada Ikan Mas. Jurnal Fakultas Perikanan Vol.II No. 3. Fakultas Perikanan Unsrat, Manado.

Manoppo, H. 1995. Parasit dan Penyakit Ikan. Fakultas Perikanan, Unsrat-Manado.

Mantau, Z., 1997. Padat Penebaran Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Dalam Jaring Tancap di Tambak. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, Manado.

Poernomo, A.,1989. Faktor Lingkungan Dominan pada Budidaya Udang Intensif (Dalam Budidaya Air). Yayasan Obor Indonesia.

Rukyani, A., E.Silvia, A.Sunarto, Taukhid, 1997. Peningkatan Respon Kebal Non-Spesifik pada Ikan Lele (Clarias batrachus) Dengan Pemberian Immunostimulan (b-Glucan). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol.III No.1. PUSLITBANGKAN, BALITBANGTAN, Jakarta.

Suyanto, 1994. N i l a. Penebar Swadaya, Jakarta.

Shokita, S., 1991. Aquaculture in Tropical Areas. Midori Shobo.

Tamanampo, J.F.W.S., 1994. Ekologi Perairan (Ekologi Perairan Tawar). Fakultas Perikanan Unsrat, Manado.

Zonneveld,N., E.A.Huisman, J.H.Boon, 1994. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Penerbit Gramedia, Jakarta.

PROSPEK PEMBUDIDAYAAN “GRACE KELLY”

The author: Salmah Tirajoh, SPi

ABSTRAK

“Sang primadona dari terumbu karang”. Bahkan para pecintanya menamakan sang primadona ini dengan nama seorang akrtis Amerika Serikat dan Permasuri Raja Monaco “Grace Kelly” yang sering memakai gaun bercorak polka dot. Lantas siapakah si “Grace Kelly” tersebut? Dialah ikan Kerapu Bebek/kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sang primadona dari terumbu karang. Dimana keindahan, keanggunan, kecantikan dan keekslusifannya disetarakan dengan Permasuri Kerajaan Monaco tersebut. Bahkan si Grace Kelly ini memiliki nilai jual yang fantastis. Kerapu kecil (mulai ukuran fingerling) laku keras sebagai ikan hias dengan harga berkisar antara Rp 10.000 – 25.000/ ekor (di dalam negeri). Sementara untuk harga ekspornya antara US$ 19 – US$ 29/ ekor atau Rp 171.000 – 261.000 per ekor (dengan kurs Rp 9000).

Kata Kunci : Kerapu Tikus, Grace Kelly, Terumbu Karang


PENDAHULUAN

Sepintas jika melihat “sang primadona” ini, orang awam mungkin hanya menganggapnya biasa-biasa saja, namun jika telah menatap dan menikmati lenggak lenggoknya, orang bagaikan terhipnotis untuk terus mengagumi keindahannya. Bahkan bagi mereka yang berkantung tebal, sang primadona ini bisa langsung “disantap”, sebab harganya memang mampu membuat orang awam tercengang-cengang bahkan mungkin pingsan.
“Sang primadona dari terumbu karang”, begitulah kalau boleh penulis menyebutnya. Bahkan para pecintanya menamakan sang primadona ini dengan nama seorang akrtis Amerika Serikat dan Permasuri Raja Monaco “Grace Kelly” yang sering memakai gaun bercorak polka dot. Lantas siapakah si “Grace Kelly” tersebut? Dialah ikan Kerapu Bebek/kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sang primadona dari terumbu karang. Dimana keindahan, keanggunan, kecantikan dan keekslusifannya disetarakan dengan Permasuri Kerajaan Monaco tersebut.
Bahkan si Grace Kelly ini memiliki nilai jual yang fantastis. Kerapu kecil (mulai ukuran fingerling) laku keras sebagai ikan hias dengan harga berkisar antara Rp 10.000 – 25.000/ ekor (di dalam negeri). Sementara untuk harga ekspornya antara US$ 19 – US$ 29/ ekor atau Rp 171.000 – 261.000 per ekor (dengan kurs Rp 9000).
Sedangkan untuk ukuran konsumsi (300-400 g/ek) menjadi makanan wajib orang-orang berduit. Di pasaran dalam negeri saja harganya berkisar Rp 200.000 – 400.000 per kg. Sementara untuk ukuran induk (2,5 – 3,5 kg) harga pasarannya sekitar Rp 1,8 juta – 2,6 juta per ekor.
Dengan harga jual yang menggiurkan tersebut, maka banyak orang yang berusaha mencari dan menangkap kerapu bebek, sehingga berakibat pada rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat si Grace Kelly tersebut. Sebab selain menangkap dengan pancing, kebanyakan para penangkap ikan karang menggunakan racun dan bom yang notabene menghancurkan ekosistem terumbu karang. Sehingga diperlukan pendekatan yang persuasive dan partisipatif dari berbagai lembaga terkait terhadap para nelayan penangkap ikan-ikan karang agar supaya mereka lebih memilih menggunakan alat tangkap seperti pancing, sero dan bubu atau jaring angkat dibanding menggunakan racun potassium dan bom ikan dengan pertimbangan dampak negatifnya tadi yaitu kerusakan lingkungan/ ekosistem yang secara langsung dan tidak langsung juga mempengaruhi kehidupan para nelayan itu sendiri.
Disamping itu penangkapan yang terlalu sering dapat mengakibatkan kelangkaan bahkan kepunahan spesies ini. Untuk itulah perlu adanya upaya pembudidayaan si “Permasuri Monaco” ini. Sebenarnya teknologi budidaya kerapu bebek (pembenihan, pembesaran dan pemanenan) telah banyak ditemukan dan dikembangkan oleh para peneliti perikanan baik di Balai-Balai Riset perikanan maupun di universitas-universitas.
Penelitian dari Ketut Sugama, dkk (1999) dari Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol – Bali (sekarang Balai Besar Penelitian Perikanan Pantai Gondol), mengemukakan bahwa dengan mengembangkan usaha pembenihan kerapu bebek skala rumah tangga saja telah mendatangkan keuntungan sebesar Rp 91.820.000/ tahun (3 kali siklus produksi) atau rata-rata Rp 7.650.000 per bulan dengan total investasi awal (sudah termasuk biaya operasional selama satu tahun) sebesar Rp 43.180.000. Sehingga hanya dalam jangka waktu ± 3 bulan (satu siklus produksi) modal/ investasi telah kembali. Padahal dalam penelitian tersebut kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek hanya sebesar 3% dan harga minimum Rp 5000/ ekor (harga jual dalam negeri pada saat itu). Nah, jika dibandingkan dengan harga jual sekarang, yang di dalam negeri saja telah mencapai minimal Rp 10.000/ ekor, maka dapat diperoleh keuntungan pertahunnya sebesar Rp 226.820.000. Luar biasa …!!

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA

Dari segi potensi sumberdaya alam khususnya untuk pengembangan budidaya laut termasuk dalam hal ini ikan kerapu. Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi untuk hal tersebut. Sulawesi Utara tercatat memiliki potensi budidaya laut sebesar 11.900 ha, tersebar di wilayah – wilayah Sangihe & Talaud (1350 ha), Minahasa 5950 ha, Bolmong 4250 ha dan Bitung 350 ha. Sementara, produksi ikan kerapu Sulut dari sektor penangkapan pada tahun 2001 sebesar 1787,2 ton. Produksi tangkap ikan kerapu tersebut merupakan terbesar di kelasnya (sesama ikan karang). Sedangkan secara nasional menurut data Dep. Kelautan dan Perikanan yang dilansir Kompas Rabu 5 Maret 2003, pemanfaatan ikan karang termasuk kerapu, sudah diatas 100%. Sebab dari potensi 145 ribu ton/tahun, yang ditangkap sudah sebanyak 156 ribu ton. Eksploitasi yang terus-menerus jika dibiarkan akan mengakibatkan kelangkaan spesies ini di alam, maka budidayalah sebagai solusinya.
Namun sayangnya perkembangan budidaya ikan kerapu khususnya dan ikan karang pada umumnya belum begitu menggembirakan di Sulut. Terutama pembudidayaan dalam Keramba Jaring Apung. Padahal sepengetahuan penulis, Sulawesi Utara memiliki daerah-daerah/ lokasi yang sangat ideal untuk pengembangan budidaya kerapu, diantaranya di wilayah Kecamatan Wori, Kecamatan Likupang Barat dan Timur, Aertembaga/ Tandurusa Bitung, Bolmong (wilayah Labuan Uki, Kaidipang/Boroko), Satal (Kec. Tabukan Utara, Kuma, Tamako, dll). Adapun persyaratan lokasi untuk budidaya kerapu adalah 1). Terlindung dari gelombang besar, sebab ikan mudah stress dan menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang, disamping itu kerusakan konstruksi KJA sangat besar terjadi. Sehingga lokasi yang ideal adalah pada wilayah teluk terutama pada teluk yang pesisirnya masih berdiri kokoh hutan mangrove; 2). Terlindung dari ancaman predator seperti ikan buntal dan burung laut. Selain itu harus ada jaminan keamanan dari predator “Kepala Hitam” alias pencuri; 3). Terlindung dari ancaman pencemaran limbah industri, pertanian dan rumah tangga; 4). Jauh dari alur lalu lintas kapal. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah ketinggian air laut pada saat surut terendah harus tidak kurang dari 1 meter. Hal ini untuk mencegah ikan stress karena naiknya suhu air laut dan ketersediaan oksigen.
Pengembangan budidaya kerapu yang masih lamban menjadi tantangan serius bagi para investor yang akan menanamkan modalnya di Sulut. Dengan melihat potensi SDA dan keuntungan pembenihan skala rumah tangga kerapu bebek dengan pangsa pasar local saja telah mendatangkan keuntungan yang menggiurkan, bagaimana dengan pangsa pasar eksport benih yang harganya mencapai US$29/ ekor, tentu keuntungannya bisa mencapai miliaran rupiah. Selain itu tantangan lainnya bagi Pemda Sulut, sebab dalam pencanangan GERBANG KUBA, salah satu komoditi unggulan yang akan dikembangkan adalah ikan kerapu (ikan karang). Bagaimana Pemda dapat mensikapi hal ini dengan menelorkan kebijakan-kebijakan yang memudahkan para investor dalam berusaha, disamping juga menjamin stabilitas dan keamanan untuk kelangsungan usaha mereka, sebab ujung-ujungnya adalah pemasukan devisa untuk daerah itu sendiri (Sulawesi Utara).

PENUTUP
Tinggal sekarang pertanyaannya adalah 1). Apakah ada investor yang berani menanamkan modalnya untuk pengembangan usaha budidaya kerapu ini (bukan hanya pembesaran tapi juga pembenihan); 2). Bagaimana keberpihakan pemerintah daerah terhadap hal ini? Akhirnya mari sama-sama kita renungkan dan menjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. INFORMASI PERIKANAN. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Utara.

Mesti Sinaga, Djumyati Partawidjaja, 1999. REZEKI BESAR DARI SI MONCONG TIKUS: Peluang bisnis budi daya kerapu tikus nan menggiurkan. www.kontan-online.com Edisi 50/Iii Tanggal 13 September 1999

Majalah INTISARI, Berita IPTEK Rabu 26 September 2001. KERAPU TIKUS BERNILAI EKONOMI TINGGI.
Kompas Rabu, 05 Maret 2003. “GRACE KELLY” SANG PRIMADONA DARI LAUT.

www.flmnh.ufl.edu/fish/Gallery/Descript/GoliathGrouper/GoliathGrouper.html , 2004. ICHTHYOLOGY at the Florida Museum of Natural History.

www.marinefisheries.org 2004. GROUPER FISHES CLASSIFICATION.

Senin, 07 Januari 2008

AMERIKANA

Amerika Serikat (USA), negeri adi daya yang selalu memperdaya negeri-negeri lain, yang selalu menang perang dalam film-filmnya. Sebuah negeri yang membuat takjub para pemimpin Indonesia. Sampai-sampai semua kebijakan terutama ekonomi makro berkiblat pada negeri uncle Sam ini. Negeri dimana tujuan utamanya adalah menguasai dunia dengan slogan “one united world”. Merupakan propaganda negeri iblis ini guna menguasai dunia dan mengaturnya seenak perutnya.

Cengkeraman pengaruh USA, terutama di Indonesia sudah merambah dan mengakar pada semua lini kehidupan. Anak-anak muda dengan bangganya memampang bendera USA di kamar-kamar pribadi mereka, bergaya bicara dan pakaian ala selebritis USA. Bahkan berpola hidup ala USA dengan meremehkan lembaga perkawinan yang sangat sakral. Dengan mudahnya kawin-cerai hanya karena alasan sepele, hidup bersama tanpa ikatan, dll.

Namun ternyata para the oldman kita di pucuk-pucuk pimpinan negeri ini, juga sangat terpengaruh dengan arah/ pola pikir amerikana. Hal ini tidak mengherankan sebab semasa sekolah/ kuliahnya dijejali dengan buku-buku, ajaran-ajaran dan pola pemikiran Amerikana. Buku-buku ajar/ pegangan para dosen (semisal ekonomi) semuanya berasal dari penulis-penulis USA. Dengan bangganya para dosen kita memamerkan kekayaan intelektual negeri tersebut. Seolah-olah di negeri kita sendiri tidak pernah ada para ekonom handal yang bisa menulis buku tentang ekonomi. Contoh-contoh aplikasi ekonomi semua berbau USA, sehingga ketika dihadapkan dengan kenyataan yang ada di Indonesia, semua pada kelabakan, kegagapan dan masih mencari-cari. Semua dosen tersebut telah dicuci otaknya dengan paham Amerikana.

Sementara para ekonom handal lainnya dengan bangga memberikan pengamatan dan saran pengembangan ekonomi ala Amerika, seolah-olah negeri kita ini memiliki perekonomian semapan Amerika. Bagaimana mungkin menerapkan kebijakan fiskal dan moneter suatu negara semaju Amerika ataupun Jepang pada negara “sekere” dan setertinggal Indonesia? Jangankan membandingkan dengan dua negara maju tersebut, membandingkan dengan sesama negara ASEAN saja seperti Phillipina sudah sangat riskan saat ini. Sebab pada kenyataannya perekonomian Indonesia hanya satu tingkat di atas perekonomian Myanmar. Dan sudah akan mulai tertinggal dengan Vietnam, yang saat ini memiliki cadangan devisa setara Phillipina.

So..mengapa kita tidak menerapkan perekonomian ala Indonesia, atau menyesuaikan dengan kemampuan/ kekuatan Indonesia? Mengapa harus buru-buru bermimpi indah menjadi negara industri, padahal basis Indonesia adalah pertanian (negara agraris). Berkacalah pada Uni Eropa yang mengembangkan Common Agricultural Policy (CAP) guna memproteksi dan mengembangkan pertanian di wilayah tersebut. Sebab mereka sadar sepenuhnya akan basis mereka yaitu pertanian, sehingga pembangunan dan pengembangan dasar ekonominya berasal dari pertanian untuk kemudian dikembangkanlah industri-industri berbasis pertanian. Sehingga tidak heran jika sekarang negara-negara Uni Eropa menguasai 60 – 70% industri pertanian dunia.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

Minggu, 06 Januari 2008

KAJIAN PEMBESARAN IKAN NILA MERAH DALAM TAMBAK DI DESA LIKUPANG II KAB. MINAHASA UTARA

The Authors: Zulkifli Mantau dan Salmah Tirajoh

RINGKASAN



Kecamatan Likupang (Barat dan Timur) Kab.Minahasa Utara sebagai salah satu sentra budidaya pantai dan laut di Sulawesi Utara memiliki luas areal tambak 750 ha tersebar di Desa-Desa Sarawet dan Likupang II. Desa Likupang II sendiri sebagai lokasi berlangsungnya penelitian ini memiliki areal tambak seluas ± 100-200 ha. Namun dari luas tersebut hanya ± 30% yang produktif. Ketidakproduktifan ini disebabkan terutama karena faktor modal, terutama untuk pemeliharaan dan pembelian nener bandeng dan benur udang, sehingga banyak petakan tambak yang kosong tidak terisi. Oleh sebab itu perlu dicari suatu solusi dengan mengembangkan komoditi budidaya alternatif ( subtitusi bandeng dan udang), yaitu budidaya ikan nila merah dalam tambak.

Pada tahun 1986, secara nasional produksi ikan nila merah baru mencapai 268 ton. Tapi pada tahun 1989 meningkat menjadi 1.143,38 ton. Perkembangan dan penyebarannya memang amat pesat pada saat itu. Begitu pula dengan permintaan pasar baik dalam maupun luar negeri hingga saat ini masih tetap tinggi, diantaranya dating dari USA, Singapura dan Jepang. Kenyataan ini menjadi tantangan serius bagi dunia usaha perikanan khususnya di Sulawesi Utara, terutama dalam memberdayakan kembali lahan-lahan tambak yang masih “tidur” disebabkan tingginya biaya produksi bandeng dan udang. Dan jika usaha budidaya nila merah dengan memanfaatkan lahan tambak produktif yang masih “tidur” ini berhasil, maka dapat diprediksi bahwa Sulawesi Utara bisa meraup PAD yang sangat besar dari hasil ekspor ikan ini, sebab sampai tahun 2001 harga ikan nila merah ekspor mencapai US$ 10/kg.

Tujuan penelitian ini adalah 1) Menemukan teknologi pembesaran nila merah dalam tambak spesifik lokasi di Sulawesi Utara; 2) Meningkatkan efisiensi faktor produksi budidaya nila merah; 3) Meningkatkan pendapatan petambak. Dengan keluaran : 1)Informasi teknologi budidaya nila merah spesifik lokasi di Sulut; 3) Optimalisasi sumberdaya lahan petani tambak. Mengambil lokasi di Desa Likupang II Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara, yang berakarakteristik AEZ pada zone pesisir, dengan komoditas pengembangan tambak. Perlakuan yang dicobakan pada penelitian adalah faktor padat tebar benih yaitu 10, 20, 30 dan 40 ekor/m2 diulang sebanyak 4 kali, menggunakan kriteria Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis statistik menggunakan analisis sidik ragam (uji-F) dan uji BNt, sedangkan parameter finansial dilakukan analisis ekonomi berupa net-profit, ratio pengembalian modal, ratio pengembalian biaya operasional BC-ratio, BEP (harga dan produksi) dan payback periodh.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa keempat perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan harian ikan, nilai efisiensi pakan dan mortalitas. Sedangkan berdasarkan analisa usaha diperoleh pendapatan bersih Rp 697.193 /tahun, ratio pengembalian modal awal (investasi) 13,542%, ratio pengembalian biaya operasional 3 %, jangka waktu pengembalian modal 89 bulan (7 tahun 4 bulan), BEP harga Rp 11.631, BEP produksi 1.832 kg dan BC-ratio 1,03 (impas).

Sabtu, 05 Januari 2008

MINAHASA UTARA – MANA GAUNGMU?

Kabupaten itu terbilang masih “balita”. Baru 3 tahun, sejak memisahkan diri dari Kabupaten Minahasa Induk pada tahun 2004. Tepatnya tanggal 7 Januari 2004 berdasarkan UU No 33 Tahun 2003 Kabupaten Minahasa Utara diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI. Dan pada tanggal 12 Januari 2004 dilakukan pelantikan Penjabat Bupati Minahasa Utara yaitu Drs. Paul Tirayoh, MBA. Banyak harapan digantungkan pada saat itu, percepatan pembangunan, pemerataan hasil-hasil pembangunan semakin cepat dirasakan sampai ke pelosok. Dalam kurun waktu baru 3 tahun tersebut belum banyak yang bisa diharapkan dari kabupaten baru ini. Akhir tahun 2006 saya melakukan pengambilan data penelitian di berbagai kecamatan dan desa di Kab. Minut. Lokasi yang pertama saya kunjungi adalah kecamatan Talawaan. Betapa takjub dan terperangahnya saya ketika melewati jalan-jalan dari Desa Wusa sampai Warisa. Bukan karena bagus atau mulusnya namun karena “kehancuran” totalnya. Sampai-sampai motor yang kutunggangi hampir gagal melewati jalan yang lebih cocok dianalogkan dengan “gelombang lautan darat”. Penuh bebatuan yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Sungguh tragis dan dilematis sebab kedua desa tersebut cukup berdekatan dengan Bandara Internasional Sam Ratulangi yang landasannya mulus bak sutra.

Hal tersebut hanya secuil dari ketertinggalan Minut dari wilayah Sulut lainnya. Padahal kabupaten ini menyimpan selaksa kekayaan alam yang jika dieksploitasi dengan bertanggung jawab pasti akan membawa kesejahteraan pada seluruh rakyat Minahasa Utara. Mulai dari pertambangan, perikanan dan kelautan, pertanian, perkebunan, industri berskala kecil sampai besar, semua ada di Minut. Semua kekayaan sumberdaya alam tersebut telah pula disokong oleh kekayaan sumberdaya manusia yang dimiliki Minut. Dari segi penciptaan human capital di Kab. Minut sangat tidak kalah bahkan mungkin lebih baik dari Kabupaten/ Kota yang ada di Sulut. Hal ini disebabkan karena terdapatnya Universitas berskala internasional di daerah tersebut, yaitu Universitas Klabat, yang kualitas lulusannya setara dengan kualitas lulusan perguruan-perguruan tinggi terkemuka di negeri ini, seperti ITB, IPB, UI dan UGM.

Sehingga, kalau dipikir-pikir, apa yang kurang di Minut. Semua tersedia. Namun mengapa sepertinya pembangunan di sana, jalan ditempat? Contoh pembangunan infrastruktur tadi yang sangat tersendat. Dan ternyata luasan infrastruktur yang tak memadai juga di alami di wilayah Likupang. Masih banyak desa-desa di wilayah Likupang, baik di wilayah Barat maupun Timur yang kondisi jalannya masih sangat memprihatinkan. Walaupun, harus diakui pula dengan adanya pembangunan jalan lingkar (untuk jalur peti kemas dari Bitung) agak sedikit membantu mobilitas masyarakat yang dilalui proyek jalan tersebut.

Kabupaten Minahasa Utara dengan luas 932,20 km2 memiliki potensi pertanian umum yang cukup besar karena merupakan salah satu daerah sentra produksi kelapa, pala, cengkeh, rumput laut dan perikanan darat di Sulawesi Utara. Letaknya yang sangat strategis karena berdekatan dengan pelabuhan laut Bitung dan lapangan udara Samratulangi, sebenarnya membuat peluang mobilitas ekspor komoditas unggulan pertanian di daerah tersebut menjadi lebih mudah. Lahan di kabupaten ini mencakup iklim, tanah, terrain dan hidrologi cukup beragam yang berpengaruh terhadap kesesuaian lahan dan potensinya untuk pengembangan jenis komoditi pertanian. Daerah ini memiliki lahan potensial untuk usaha perikanan darat dan payau yang perlu lebih dikembangkan, oleh karena itu informasi penting dari peta Agro Ekosistem Zone (AEZ) menjadi sangat penting untuk menunjang pengembangan usaha perikanan darat maupun dalam menentukan teknologi pengelolaan lahan untuk mengembangkan komoditi perikanan darat dan payau khususnya dan pertanian umum pada umumnya. Tetapi dipihak lain daerah ini memiliki potensi pengembangan baik penangkapan maupun budidaya laut, sehingga terdapat pelabuhan perikanan di sebelah timur kabupaten ini. Untuk menentukan dan memilih jenis komoditas yang potensial dikembangkan sesuai dengan kondisi lahan spesifik lokasi diperlukan tersedianya data sumberdaya lahan yang rinci dan akurat. Peta AEZ propinsi Sulawesi Utara yang telah dihasilkan oleh BPTP Sulut pada skala 1:250.000 dapat digunakan untuk arahan dan seleksi areal, sedangkan untuk skala operasional perlu dirinci ke skala yang lebih detil (skala 1:50.000) yang juga telah dihasilkan lembaga penelitian ini pada tahun 2006 khusus untuk Kabupaten Minahasa Utara. Sehingga sebenarnya jika kebiajakan pertanian yang diambil oleh pihak pengambil kebijakan di Kabupaten MINUT mengacu pada peta AEZ ini, maka pengembangan wilayah akan mencapai hasil yang lebih optimal dan dapat berkelanjutan.

Rabu, 02 Januari 2008

Si Jantan Yang Menguntungkan

Masalah umum yang dihadapi dalam budidaya ikan nila adalah kemampuan reproduksinya yang luar biasa, sehingga sukar dikontrol dan sering terjadinya inbreeding. Akibatnya tingkat pertumbuhan menjadi lambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran konsumsi bahkan sering pertumbuhannya terhenti (stagnasi). Berdasarkan pengalaman di lapangan, jika ikan nila dipelihara secara campur kelamin (polysex culture) pada ukuran 50 gr/ekor sudah mulai memijah, sehingga pertumbuhan menjadi lambat bahkan terjadi stagnasi pertumbuhan karena energinya terkuras pada saat memijah dan mengerami telur, padahal ukuran konsumsi awal yang siap jual adalah > 100 gr/ekor.
Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan budidaya ikan nila secara tunggal kelamin (monosex culture) dalam hal ini hanya ikan jantan saja yang dipelihara sampai mencapai ukuran konsumsi. Mengapa ikan jantan ?, sebab ikan jantan memiliki tingkat pertumbuhan dua kali lebih cepat dari ikan betina. Untuk melaksanakan budidaya tunggal kelamin perlu diketahui cara memproduksi benih ikan nila jantan (maskulinisasi). Terdapat 4 cara memproduksi benih ikan nila jantan, yaitu:


1. Secara Manual (Sortasi/seleksi)
Cara ini merupakan cara yang paling sederhana, dimana hanya menuntut ketrampilan dan pengetahuan petani membedakan jenis kelamin ikan nila. Ketika ikan nila telah mencapai ukuran panjang 10 cm (± 20 gr/ekor) organ sex sudah dapat dikenali secara jelas dengan cara memeriksa sexual papilla yang berada pada sisi ventral tubuh ikan nila.


Alat kelamin ikan nila jantan berupa satu lubang di papilla yang berfungsi sebagai muara urine dan sperma (urogenital pore) yang terletak setelah lubang anus. Sedangkan alat kelamin betina terdiri dari 2 lubang di papilla. Lubang yang satu untuk muara urine (ureter) dan yang lain untuk pengeluaran telur (oviduct), terletak setelah anus. Jadi pada ikan nila jantan terdapat dua lubang yaitu anus dan urogenital sedangkan betina terdapat 3 lubang yaitu anus, oviduct dan ureter.


1. (Kawin Silang antar Spesies)
Berdasarkan penelitian dari Puslitbangkan (1991) hibridisasi antar spesies dalam genus Oreochromis dapat menghasilkan keturunan pertama (F1) yang hampir 100% jantan (Suyanto, 1994). Namun hibridisasi dapat menghasilkan keturunan yang sifat-sifatnya kurang baik dan sangat bervariasi. Sisi negatif muncul bila terjadi kawin antar individu hibrida (F1) (inbreeding). Bahkan bila kawin liar berlanjut dapat mengakibatkan langkanya ikan galur murni dan menghasilkan benih kerdil. Kendala lainnya adalah sukar diperolehnya induk-induk galur murni dari spesies-spesies yang akan dikawin silangkan.


2. Menjantankan (Maskulinisasi) dengan rangsangan hormon

Maskulinisasi ikan nila adalah suatu proses pembentukan jenis kelamin jantan dimana larva-larva ikan nila baru berumur 7-19 hari dirangsang dengan hormon Metil Testosterone (MT) untuk membentuk jenis kelamin jantan.
Hormon yang biasa digunakan untuk maskulinisasi ikan nila adalah Metil Testosterone. Ada 2 cara maskulinisasi dengan rangsangan hormon yaitu: a) Melalui perendaman. Hormon dilarutkan dalam air dengan dosis 5 – 10 mg/l air + 2,5 ppt dimetilsulphoxide. Selanjutnya larva ikan nila berumur 7 hari (burayak) direndam dalam larutan tersebut;
b). Perlakuan Pakan Berhormon. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
· Pemilihan induk jantan dan betina ikan nila. Induk jantan yang digunakan berukuran ± 200 gr/ekor (± umur 4 bulan) sebanyak 6 ekor. Sedangkan induk betina berukuran ± 150 gr/ekor (± umur 4 bulan) sebanyak 18 ekor.
· Persiapan kolam induk/kolam pemijahan yang dilengkapi dengan pen/pagar untuk tempat pemijahan. Induk ditebar di dalam pen tersebut dengan perbandingan 1:3 (1 ekor jantan dan 3 ekor betina). Untuk kolam pemijahan dibutuhkan ± 3 petakan kolam dimana pada tiap petakan diletakkan 2 – 3 buah pen/pagar/kalasey untuk pemijahan induk.
Persiapan pakan berhormon
· Sebelum hormon ditambahkan ke dalam pakan terlebih dahulu dilarutkan dalam alkohol, volume alkohol disesuaikan dengan dosis hormon. Hormon metil testosterone ditakar sebanyak 15 mg (± 1/8 bagian sendok teh. Untuk volume alkohol sebagai berikut: alkohol 95%: 15 mg hormon MT: 7.5 ml alkohol. Untuk alkohol 70%: 15 mg MT: 9 ml alkohol (± 1/2 strip batang korek api). Alkohol diukur dalam gelas minum biasa.
· Larutan hormon-alkohol tersebut dituangkan dalam pakan/pellet yang sudah dihaluskan terlebih dahulu sedikit demi sedikit, dimana sebagai patokan dasar pellet yang dibutuhkan sebanyak 1 kg/dosis hormon. Sehingga dosis hormon MT dalam pakan menjadi 15 mg hormon MT dalam 1 kg pellet halus. Adonan tersebut diangin-anginkan sampai betul-betul kering dan bau alkohol hilang, kemudian adonan tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik tertutup dan dapat disimpan selama 2 bulan.
· Persiapan kolam pendederan dan Pemeliharaan larva. Setelah induk nila betina mulai melepaskan larva keluar dari mulut (mulai 7 hari) maka larva-larva tersebut segera ditangkap dan dipelihara dalam kolam pendederan. Selanjutnya Pakan berhormon diberikan selama ± 1 bulan pemeliharaan larva sebanyak 10% dari berat total larva/happa. Sebab setelah waktu tersebut larva/benih telah terbentuk jenis kelaminnya, sehingga penggunaan yang terlalu lama tidak mempengaruhi pembentukan jenis kelamin, malahan dapat membahayakan jika digunakan terus untuk pembesaran ikan (ikan konsumsi).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan IPPTP Kalasey diperoleh persentase benih jantan yang terbentuk mencapai 93 %, dengan tingkat kematian benih rata-rata 10%. Dari usaha ini keuntungan bersih pertahun Rp 19.971.500 dan modal kembali setelah 13 ekor induk betina memijah.


4. Manipulasi Kromosom
Melakukan manipulasi kromosom harus didasari pada ilmu genetika yang mendalam. Hal ini baru dapat dilakukan oleh para ahli genetika dengan memakan waktu yang lama, tingkat ketelitian yang tinggi dan biaya yang besar. Untuk tingkat petani cara ini belum dapat diterapkan, kecuali dengan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian yang sudah melakukan hal tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari keempat cara untuk memproduksi benih ikan nila jantan tersebut yang paling efektif, efisien, mudah diterapkan dan relatif murah biayanya di tingkat petani adalah secara manual (sortasi/seleksi) dan maskulinisasi dengan pakan berhormon. Sebagai saran untuk para petani bahwa Ikan nila jantan dianjurkan untuk dibesarkan menjadi ikan konsumsi sebab ikan nila jantan memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dibanding betina. Karena ikan nila betina jika telah selesai memijah pertumbuhannya akan tetap dan cenderung menurun sebab energi terkuras pada saat pemijahan. Disamping itu ikan nila jantan ukuran tubuhnya relatif lebih besar dibanding betina dan dagingnya pun lebih tebal.