Selasa, 15 Januari 2008

PROSPEK PEMBUDIDAYAAN “GRACE KELLY”

The author: Salmah Tirajoh, SPi

ABSTRAK

“Sang primadona dari terumbu karang”. Bahkan para pecintanya menamakan sang primadona ini dengan nama seorang akrtis Amerika Serikat dan Permasuri Raja Monaco “Grace Kelly” yang sering memakai gaun bercorak polka dot. Lantas siapakah si “Grace Kelly” tersebut? Dialah ikan Kerapu Bebek/kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sang primadona dari terumbu karang. Dimana keindahan, keanggunan, kecantikan dan keekslusifannya disetarakan dengan Permasuri Kerajaan Monaco tersebut. Bahkan si Grace Kelly ini memiliki nilai jual yang fantastis. Kerapu kecil (mulai ukuran fingerling) laku keras sebagai ikan hias dengan harga berkisar antara Rp 10.000 – 25.000/ ekor (di dalam negeri). Sementara untuk harga ekspornya antara US$ 19 – US$ 29/ ekor atau Rp 171.000 – 261.000 per ekor (dengan kurs Rp 9000).

Kata Kunci : Kerapu Tikus, Grace Kelly, Terumbu Karang


PENDAHULUAN

Sepintas jika melihat “sang primadona” ini, orang awam mungkin hanya menganggapnya biasa-biasa saja, namun jika telah menatap dan menikmati lenggak lenggoknya, orang bagaikan terhipnotis untuk terus mengagumi keindahannya. Bahkan bagi mereka yang berkantung tebal, sang primadona ini bisa langsung “disantap”, sebab harganya memang mampu membuat orang awam tercengang-cengang bahkan mungkin pingsan.
“Sang primadona dari terumbu karang”, begitulah kalau boleh penulis menyebutnya. Bahkan para pecintanya menamakan sang primadona ini dengan nama seorang akrtis Amerika Serikat dan Permasuri Raja Monaco “Grace Kelly” yang sering memakai gaun bercorak polka dot. Lantas siapakah si “Grace Kelly” tersebut? Dialah ikan Kerapu Bebek/kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sang primadona dari terumbu karang. Dimana keindahan, keanggunan, kecantikan dan keekslusifannya disetarakan dengan Permasuri Kerajaan Monaco tersebut.
Bahkan si Grace Kelly ini memiliki nilai jual yang fantastis. Kerapu kecil (mulai ukuran fingerling) laku keras sebagai ikan hias dengan harga berkisar antara Rp 10.000 – 25.000/ ekor (di dalam negeri). Sementara untuk harga ekspornya antara US$ 19 – US$ 29/ ekor atau Rp 171.000 – 261.000 per ekor (dengan kurs Rp 9000).
Sedangkan untuk ukuran konsumsi (300-400 g/ek) menjadi makanan wajib orang-orang berduit. Di pasaran dalam negeri saja harganya berkisar Rp 200.000 – 400.000 per kg. Sementara untuk ukuran induk (2,5 – 3,5 kg) harga pasarannya sekitar Rp 1,8 juta – 2,6 juta per ekor.
Dengan harga jual yang menggiurkan tersebut, maka banyak orang yang berusaha mencari dan menangkap kerapu bebek, sehingga berakibat pada rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat si Grace Kelly tersebut. Sebab selain menangkap dengan pancing, kebanyakan para penangkap ikan karang menggunakan racun dan bom yang notabene menghancurkan ekosistem terumbu karang. Sehingga diperlukan pendekatan yang persuasive dan partisipatif dari berbagai lembaga terkait terhadap para nelayan penangkap ikan-ikan karang agar supaya mereka lebih memilih menggunakan alat tangkap seperti pancing, sero dan bubu atau jaring angkat dibanding menggunakan racun potassium dan bom ikan dengan pertimbangan dampak negatifnya tadi yaitu kerusakan lingkungan/ ekosistem yang secara langsung dan tidak langsung juga mempengaruhi kehidupan para nelayan itu sendiri.
Disamping itu penangkapan yang terlalu sering dapat mengakibatkan kelangkaan bahkan kepunahan spesies ini. Untuk itulah perlu adanya upaya pembudidayaan si “Permasuri Monaco” ini. Sebenarnya teknologi budidaya kerapu bebek (pembenihan, pembesaran dan pemanenan) telah banyak ditemukan dan dikembangkan oleh para peneliti perikanan baik di Balai-Balai Riset perikanan maupun di universitas-universitas.
Penelitian dari Ketut Sugama, dkk (1999) dari Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol – Bali (sekarang Balai Besar Penelitian Perikanan Pantai Gondol), mengemukakan bahwa dengan mengembangkan usaha pembenihan kerapu bebek skala rumah tangga saja telah mendatangkan keuntungan sebesar Rp 91.820.000/ tahun (3 kali siklus produksi) atau rata-rata Rp 7.650.000 per bulan dengan total investasi awal (sudah termasuk biaya operasional selama satu tahun) sebesar Rp 43.180.000. Sehingga hanya dalam jangka waktu ± 3 bulan (satu siklus produksi) modal/ investasi telah kembali. Padahal dalam penelitian tersebut kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek hanya sebesar 3% dan harga minimum Rp 5000/ ekor (harga jual dalam negeri pada saat itu). Nah, jika dibandingkan dengan harga jual sekarang, yang di dalam negeri saja telah mencapai minimal Rp 10.000/ ekor, maka dapat diperoleh keuntungan pertahunnya sebesar Rp 226.820.000. Luar biasa …!!

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA

Dari segi potensi sumberdaya alam khususnya untuk pengembangan budidaya laut termasuk dalam hal ini ikan kerapu. Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi untuk hal tersebut. Sulawesi Utara tercatat memiliki potensi budidaya laut sebesar 11.900 ha, tersebar di wilayah – wilayah Sangihe & Talaud (1350 ha), Minahasa 5950 ha, Bolmong 4250 ha dan Bitung 350 ha. Sementara, produksi ikan kerapu Sulut dari sektor penangkapan pada tahun 2001 sebesar 1787,2 ton. Produksi tangkap ikan kerapu tersebut merupakan terbesar di kelasnya (sesama ikan karang). Sedangkan secara nasional menurut data Dep. Kelautan dan Perikanan yang dilansir Kompas Rabu 5 Maret 2003, pemanfaatan ikan karang termasuk kerapu, sudah diatas 100%. Sebab dari potensi 145 ribu ton/tahun, yang ditangkap sudah sebanyak 156 ribu ton. Eksploitasi yang terus-menerus jika dibiarkan akan mengakibatkan kelangkaan spesies ini di alam, maka budidayalah sebagai solusinya.
Namun sayangnya perkembangan budidaya ikan kerapu khususnya dan ikan karang pada umumnya belum begitu menggembirakan di Sulut. Terutama pembudidayaan dalam Keramba Jaring Apung. Padahal sepengetahuan penulis, Sulawesi Utara memiliki daerah-daerah/ lokasi yang sangat ideal untuk pengembangan budidaya kerapu, diantaranya di wilayah Kecamatan Wori, Kecamatan Likupang Barat dan Timur, Aertembaga/ Tandurusa Bitung, Bolmong (wilayah Labuan Uki, Kaidipang/Boroko), Satal (Kec. Tabukan Utara, Kuma, Tamako, dll). Adapun persyaratan lokasi untuk budidaya kerapu adalah 1). Terlindung dari gelombang besar, sebab ikan mudah stress dan menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang, disamping itu kerusakan konstruksi KJA sangat besar terjadi. Sehingga lokasi yang ideal adalah pada wilayah teluk terutama pada teluk yang pesisirnya masih berdiri kokoh hutan mangrove; 2). Terlindung dari ancaman predator seperti ikan buntal dan burung laut. Selain itu harus ada jaminan keamanan dari predator “Kepala Hitam” alias pencuri; 3). Terlindung dari ancaman pencemaran limbah industri, pertanian dan rumah tangga; 4). Jauh dari alur lalu lintas kapal. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah ketinggian air laut pada saat surut terendah harus tidak kurang dari 1 meter. Hal ini untuk mencegah ikan stress karena naiknya suhu air laut dan ketersediaan oksigen.
Pengembangan budidaya kerapu yang masih lamban menjadi tantangan serius bagi para investor yang akan menanamkan modalnya di Sulut. Dengan melihat potensi SDA dan keuntungan pembenihan skala rumah tangga kerapu bebek dengan pangsa pasar local saja telah mendatangkan keuntungan yang menggiurkan, bagaimana dengan pangsa pasar eksport benih yang harganya mencapai US$29/ ekor, tentu keuntungannya bisa mencapai miliaran rupiah. Selain itu tantangan lainnya bagi Pemda Sulut, sebab dalam pencanangan GERBANG KUBA, salah satu komoditi unggulan yang akan dikembangkan adalah ikan kerapu (ikan karang). Bagaimana Pemda dapat mensikapi hal ini dengan menelorkan kebijakan-kebijakan yang memudahkan para investor dalam berusaha, disamping juga menjamin stabilitas dan keamanan untuk kelangsungan usaha mereka, sebab ujung-ujungnya adalah pemasukan devisa untuk daerah itu sendiri (Sulawesi Utara).

PENUTUP
Tinggal sekarang pertanyaannya adalah 1). Apakah ada investor yang berani menanamkan modalnya untuk pengembangan usaha budidaya kerapu ini (bukan hanya pembesaran tapi juga pembenihan); 2). Bagaimana keberpihakan pemerintah daerah terhadap hal ini? Akhirnya mari sama-sama kita renungkan dan menjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. INFORMASI PERIKANAN. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Utara.

Mesti Sinaga, Djumyati Partawidjaja, 1999. REZEKI BESAR DARI SI MONCONG TIKUS: Peluang bisnis budi daya kerapu tikus nan menggiurkan. www.kontan-online.com Edisi 50/Iii Tanggal 13 September 1999

Majalah INTISARI, Berita IPTEK Rabu 26 September 2001. KERAPU TIKUS BERNILAI EKONOMI TINGGI.
Kompas Rabu, 05 Maret 2003. “GRACE KELLY” SANG PRIMADONA DARI LAUT.

www.flmnh.ufl.edu/fish/Gallery/Descript/GoliathGrouper/GoliathGrouper.html , 2004. ICHTHYOLOGY at the Florida Museum of Natural History.

www.marinefisheries.org 2004. GROUPER FISHES CLASSIFICATION.

Tidak ada komentar: